15 September 2008

Kayak Main Bola Aja, Kalah Pukul Wasit

HARAPAN berbagai kalangan pelaksanaan pilgub 3 September lalu sebagai alur manis untuk membangun masa depan Provinsi Lampung yang nyaman, damai, dan segar, ternyata hanya mimpi. Hampir bisa dipastikan ke depan daerah ini memasuki era konflik baru. Hal ini menyusul “protes” enam pasang cagub-cawagub dalam road show-nya pekan kemarin. Sebagaimana diketahui, Senin (8/9) awal pekan lalu, lima pasang cagub-cawagub: Hi Zulkifli Anwar-Akhmadi Sumaryanto, Muhajir Utomo-Andi Arief, Alzier Dianis Thabranie-Bambang Sudibyo, Andy Achmad_M Suparjo, dan Sofjan Jacoeb-Bambang Waluyo melakukan road show politik dengan “mengadu” ke DPRD Lampung, Gubernur Syamsurya Ryacudu, dan KPU Lampung. Pasangan Oemarsono-Thomas Azis Riska meski tidak ikut kegiatan tersebut tapi menandatangani pernyataan bersama bertema “Demokrasi Pilgub Lampung.” Apa yang diusung? Tak lain indikasi pelanggaran yang terjadi selama pesta demokrasi rakyat Lampung 3 September lalu. Pertama: Ditemukan pelanggaran baik sebelum maupun setelah proses pilgub. Kedua: Ada pemanggilan dan atau rapat perangkat desa seluruh Lampung yang dilakukan salah satu calon incumbent. Ketiga: Kerja KPU tidak maksimal karena banyak pemilih yang tidak mendapat kartu suara dan identitasnya salah. Keempat: Tertangkap tangan adanya money politics pada saat pelaksanaan pilgub, dan kelima: sebuah lembaga survei dan media massa (Metro Tv) dengan sengaja dan sistematis mengumumkan perolehan suara untuk memenangkan salah satu pasangan calon. Gerakan politik para elite peserta pilgub 2008 itu, sontak menimbulkan nuansa tersendiri akan masa depan daerah ini. “Saya berani menjamin, kini Lampung memasuki era konflik baru,” kata Gunawan Handoko, pengurus LSM PUSKAP (Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan) Provinsi Lampung. Apa maksudnya? Mantan aktivis pemuda ini beber-beberan dalam wawancara khusus dengan Fajrun Najah Ahmad dari Fokus, berikut petikannya: Anda berani berasumsi akan lahir konflik baru di Lampung, bisa dijelaskan? Siapapun, utamanya pemerhati politik dan pelaku politik di daerah ini pasti sudah membaca kalau adanya gerakan enam pasang peserta pilgub kemarin itu akan membawa dampak psikologis sangat tinggi bagi kehidupan dunia politik daerah pasca pilgub. Bahkan konflik baru ini akan lebih besar gezahnya dibandingkan era lahirnya SK 15 DPRD Lampung yang tidak mengakui kepemimpinan Sjachroedin ZP-Syamsurya Ryacudu beberapa tahun silam. Jadi kepemimpinan pemerintahan di Lampung ke depan tetap saja diwarnai konflik politik, begitu? Iya! Kalau melihat gerakan enam pasang peserta pilgub itu, arah ke sana sudah transparan. Kalau dulu, era SK 15, kan hanya Partai Golkar yang menjadi motornya, yang lain mendukung. Kalau sekarang ini, beberapa parpol besar terlibat langsung. Bayangkan saja, partai pengusung Zul-Akhmadi misalnya, PAN dan PKS dipastikan akan berada dibelakang gerakan ketidakpuasan atas hasil pilgub yang disulut ditayangkannya quick count pada saat penghitungan suara belum lagi dimulai tersebut. Begitu juga Partai Golkar, PPP, pasti ada dibelakang Alzier-Bambang. PBR, PKB, dan Partai Demokrat yang mengusung Andy Achmad-M Suparjo, juga tidak akan tinggal diam alias menerima begitu saja. Juga partai-partai pengusung Oemarsono-Thomas Azis Riska. Ditambah kekuatan dua calon independen, yang kekuatannya cukup signifikan dalam dimensi kerakyatannya. Nuansa yang paling awal dimulai dari mana? Bisa saja nanti setelah pengesahan suara sah oleh KPU. Kan diperlukan pengesahan dari DPRD Lampung sekaligus surat pengantar ke Presiden melalui Mendagri. Nah, menurut estimasi saya, dari sini awal konflik itu akan dimainkan. Bentuknya? Sudah bisa kebaca, fraksi-fraksi dari partai pengusung cagub-cawagub yang kemarin melakukan aksi road show itu akan dengan berbagai upaya “mempertanyakan” atau minimal memperlambat proses administratif pemenang pilgub. Jadi, kembali konflik politik itu menggeliat dari Gedung Dewan. Persis kayak tahun 2005 lalu dengan keluarnya SK-15 DPRD Lampung. Dan menurut Anda, konflik itu akan berkepanjangan? Sudah pasti! Apalagi pelantikan gubernur-wagub terpilih kan Juni 2009. Maka berbagai percikan konflik politik akan terus bermunculan. Kembali rakyat akan disuguhi pertikaian politik antar elite. Bisa dikatakan konflik baru itu lahir karena ketidakpuasan peserta pilgub yang kalah, begitu? Kalau itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Realitanya kan memang demikian. Dan ini yang sangat saya sayangkan. Harusnya elite-elite politik itu malu-lah mempersoalkan hal-hal semacam ini. Maksudnya malu itu bagaimana? Lho, mereka-mereka itu kan tokoh berkelas di provinsi ini. Kok jadi kayak main bola saja, begitu kalah wasitnya yang dipukuli. Ini kan pertandingan politik, bukan main bola. Harusnya kalau kalah, ya bersikap legowo sajalah, selamatkan rakyat dan daerah, dukung pemenang. Lihat saja di media massa, hari ini iklan pernyataan para cagub-cawagub yang memprotes berbagai persoalan dalam pelaksanaan pilgub, esoknya muncul iklan pernyataan bersama soal perlunya pilkada damai. Itu kan mengisyaratkan kalau dipermukaan, konflik itu mulai merayap. Beberapa orang menilai, penyulut konflik baru ini adalah hasil quick count yang ditayangkan saat penghitungan suara masih dilakukan pada 3 September lalu, menurut Anda? Penilaian demikian tidak salah. Terus terang saja, saya sendiri merasa gerah dengan adanya penghitungan cepat yang menurut saya bukan hanya memprovokasi rakyat tapi juga bentuk pelecehan terhadap lembaga KPU. Bisa dijelaskan lebih transparan? Begini, sulit dipahami bagaimana mungkin quick count sudah bisa menayangkan hasil perhitungan suara mendahului perhitungan di TPS? Kan begitu. Waktu itu, di Metro Tv pukul 12.30 WIB sudah mulai ditayangkan, sementara TPS baru mulai melakukan penghitungan pukul 13.00 WIB. Anehnya lagi, rakyat telanjur hanyut dengan apa yang dihasilkan quick count tersebut dan seolah tidak peduli lagi dengan hasil akhir yang akan diumumkan KPU. Akibatnya apa? Akibatnya, kita semua menjadi lengah dengan proses rekapitulasi yang sedang berlangsung di PPS, yang semestinya terus dikawal dalam bermain dengan angka-angka. Artinya, masyarakat sudah masuk dalam perangkap provokasi politik. Dan ini sangat berbahaya dalam proses pemilu kedepan. Menurut estimasi Anda, apakah hasil quick count dan penghitungan manual KPU akan sama? Jelas tidak akan sama. Saya yakin kalau soal ini. Kita tunggu saja nanti apa akhirnya. Soal pelantikan gubernur-wagub terpilih pun kini dipolemikkan, menurut Anda? Kalau menurut saya, sabar tidak sabar ya harus menunggu habisnya masa jabatan gubernur yaitu Juni 2009 nanti. Menurut saya, masalah yang satu ini tidak usah-lah dijadikan polemik. Lho kenapa? Malu! Maksudnya? Ya malu-lah kita semua kalau soal itu saja dipolemikkan berkepanjangan. Apalagi yang berpolemik adalah orang-orang terhormat yang tahu persis dengan aturan dan hukum. Dalam UU 32/2004 sudah jelas diatur oleh pasal 110 ayat 3, bahwa kepala daerah dan wakilnya memegang jabatan selama 5 tahun sejak pelantikan. Jadi ya nggak perlu-lah soal ini dipolemikkan, kok nambah-nambah pekerjaan saja. ***

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda