19 Agustus 2008

BPN Tuba Buka-bukaan

TIDAK semua aktivitas lembaga pemerintah meski nyata-nyata membantu kepentingan rakyat akan ditanggapi positif. Itu yang dialami Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tulang Bawang. Terkait dengan sertipikasi tanah transmigrasi, lembaga ini malah dicibir dan dituding berpraktik korupsi. Cibiran dan tudingan yang dialamatkan ke BPN Tuba itu dilakukan LSM Tegar. Lembaga swadaya masyarakat ini mengindikasikan adanya praktik korupsi berdasarkan data lapangan dimana setiap keluarga yang akan mensertipikatkan lahannya dikenai dana Rp 600.000 sampai Rp 700.000. Apalagi, lahan yang akan disertipikatkan jumlahnya mencapai 7.000 bidang.
Kenapa ada pungutan dalam program sertipikasi massal itu? Kepala BPN Tuba, Hi Syukri Hidayat, SH, MH buka-bukaan tentang hal ini dalam wawancara khusus dengan Edi Kanter dari Fokus di ruang kerjanya, berikut petikannya: Bisa dijelaskan kenapa sampai ada tudingan BPN diindikasikan melakukan korupsi dalam program sertipikasi massal lahan transmigrasi? Tudingan itu terkait adanya pungutan dana antara Rp 600.000 sampai Rp 700.000 untuk pembuatan sertipikat setiap bidangnya. Terus terang saja, sebenarnya tudingan itu tidak benar. Aparat kami sama sekali tidak melakukan pungutan ilegal. Dana itu memang merupakan kewajiban masyarakat yang lahannya akan disertipikatkan. Jadi kami bukan mengada-ada. Bisa Anda jelaskan bagaimana ketentuan program sertipikasi massal itu? Begini, program sertipikasi atas tanah transmigrasi di Kabupaten Tulang Bawang tahun 2008 ini dibiayai atau disubsidi melalui APBN dan APBD. Nah, dana yang disediakan untuk kegiatan itu hanya sebagai biaya penyuluhan, pengumpulan data yuridis, pengukuran bidang (Tugu Orde IV), penetapan hak atas tanah, dan pendaftaran tanah, serta penerbitan sertipikat. Kalau sudah ada dana-dananya kenapa masih memungut ke masyarakat? Nanti dulu! Dalam konteks ini, masih banyak aturan lain yang mesti dipenuhi, dan itu merupakan kewajiban masyarakat yang lahannya akan disertipikasi. Apa saja kewajiban masyarakat tersebut? Misalnya, menyangkut pajak, BPHTB, leges, biaya operasional panitia, dan pembuatan patok. Nah, di sini masyarakat harus tahu, bahwa meski program sertipikasi massal telah ada anggarannya dari APBN dan APBD, tetapi tidak serta merta semuanya gratis. Ada kewajiban-kewajiban masyarakat yang lahannya ingin disertipikatkan yang harus dipenuhi. Di sinilah adanya pemungutan dana tersebut. Jadi transparan kok semuanya. Aparat BPN tidak mengada-ada. Yang kami lakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bisa Anda jelaskan aturannya? Salah satunya menurut UU No 21/1997 tentang BPHTB yang diubah menjadi UU No 20/2000 pasal 3, berbunyi; tanah-tanah tranmigrasi yang mengajukan permohonan hak atas tanah dan bangunan, tidak termasuk dalam objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB. Dan sesuai UU No 20/2000, apaila kepala badan (BPN, red) menandatangani sertipikat tetapi penerima hak belum meyetorkan pajak BPHTB, maka kepala badan tersebut akan dikenakan sanksi. Semua ini juga sesuai dengan surat Kanwil BPN Lampung No 600/3269. Jadi aturannya jelas. Sekali lagi, kami tidak mengada-ada. Kalau begitu adanya pungutan dana Rp 600.000-an itu tidak menyalahi ketentuan, begitu? Iya! Semuanya sesuai ketentuan. Itu sebabnya, salah besar kalau ada yang menuding aparat BPN macem-macem dalam hal ini. Dana itu penggunaannya jelas, yaitu untuk pajak, BPHPB, leges, dan biaya oprasional panitia. Yang juga jangan dilupakan, itu semua berdasarkan kesepakatan masyarakat setempat. Jadi apalagi yang mau dipersoalkan? Kenapa hal ini tidak dijelaskan kepada masyarakat? Sebenarnya sudah, hanya ya namanya orang, ada saja yang menilai macem-macem. Kami juga berencana melakukan jumpa pers dengan rekan-rekan wartawan pada Kamis (21/8) mendatang, intinya ya untuk menjelaskan persoalan ini, sehingga ke depannya tidak muncul berbagai tudingan yang tidak sedap ke arah BPN. Karena apa yang kami lakukan di lapangan, telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. ***

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda