18 Januari 2009

SMP Kartika Prioritaskan Kreativitas

FOKUS -- SMP Kartika II-2 Bandar Lampung memprioritaskan kreativitas dalam proses belajar mengajar. Begitu yang dinyatakan Drs Mudjijana, kepala sekolah menengah pertama itu saat rapat dengan guru beberapa waktu lalu. Mengapa proses belajar mengajar memprioritaskan pengembangan kreativitas? “Pengembangan kreativitas pada peserta didik yang dimulai sejak awal akan mampu membentuk kebiasaan cara berfikir peserta didik dan sangat bermanfaat bagi mereka di kemudian hari,” kata dia lagi. Salah atau model pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kreativitas, menurut dia, adalah dengan keterampilan dimana anak didik diberikan kebebasan untuk megadakan pengamatan klasifikasi, penafsiran, peramalan, penerapan, perencanaan, penelitian, dan komunikasi hasil pendidikan dalam kegiatan belajar mengara. “Dengan pendekatan ini diharapkan kreativitas peserta didik dapat berkembang,” ujarnya. Mudjijana menambahkan, dalam hal ini yang penting adalah bagaimana poses pendidikan mampu memberikan motivasi dan rangsangan yang lebih optimal, agar kemampuan tersebut dapat berkembang. Dalam proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru, menurut dia, keterampilan proses akan menghasilkan sesuatu cara belajar yang cukup baik guna meningkatkan kreativitas siswa dalam belajar. “Dengan memperhatikan kreativitas ini, guru senantiasa harus berperan aktif sebagai fasilitator dalam membantu peserta didik, sebaliknya peserta didik juga harus aktif untuk mengembangkan potensi diri,” Mudjijana menambahkan. Diakui oleh Mudjijana, hampir semua sistem sekolah yang ada di negeri ini masih kurang menyentuh dalam mengembangkan aspek kreativitas. Hal ini terjadi akibat tuntulan kurikulum 1975 yang sangat berorientasi pada hasil belajar, yang kemudian diperbaiki pada kurikulum 1984 dan sedikit menggeser orientasi kegiatan belajar mengajar ke arah proses. Menurut dia, kurikulum 1994 secara filosofis sangat menaruh perhatian pada proses pembelajaran yang dinamis, sehingga sistem target dan produk harus diterjemahkan secara kreatif dan kontekstual, dimana 20% kurikulum ini memberikan muatan lokal. Tetapi juga, sambungnya, hal itu belum dapat menyentuh kreativitas peserta didik dan tidak tersentuh oleh praksis pendidikan kita yang kemudian kurikulum diubah menjadi Kurikulum Berbasis Kompetisi (KBK) atau kurikulum 2004 yang diharapkan memberikan nuansa baru bagi perkembangan pendidikan. Namun, “Ini juga masih kurang berhasil, karena tuntutan masyarakat yang menekankan ke arah pendewaan terhadap NEM. Karena tuntutan itulah maka sekolah lebih suka dan aman jika melakukan pendekatan belajar yang mengutamakan drill dan role learning,” lanjut Mudjijana. Masih kata dia, karena kurikulum KBK dianggap masih kurang sempurna, maka kemudian diubah lagi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang menitikberatkan pada pembelajaran tuntas dengan berorientasi pada standar kompentisi dasar (KD) dan disesuaikan dengan keadaan fasilitas sarana prasarana dan SDM di masing-masing sekolah. hp

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda