22 Februari 2009

Kuku Dituding Cari Untung

Tanah HGU PT ALP Dijadikan Objek KUASA Hukum masyarakat Adat dan petani Desa Labuhan Batin, Kecamatan Simpang Pematang, Kabupaten Tulang Bawang, Irawan Saleh SH, merasa gerah terhadap pernyataan Gouw Pek Kiang alias Kuku, salah seorang Direktur PT Anugerah Lestari Pratama, yang mengungkapkan bahwa dirinya adalah pelaku sejarah atas lahan tanah seluas 1500 Ha yang kini menjadi sengketa. Ungkapan tersebut pernah diwartakan Tabloid ini beberapa edisi lalu. Sehingga pernyataan itu telah dianggap sebagai bentuk kebohongan terhadap publik. Secara blak-blakan Irawan Saleh SH membeberkan kepada Farid Jayataruna wartawan FOKUS mengenai asal-usul terjadinya HGU atas tanah itu yang kini menjadi sengketa antara masyarakat dan PT ALP, belum lama ini. Dalam wawancara eksklusif, kuasa hukum masyarakat ini tanpa tedeng aling aling menuding Kuku bukan sebagai Direktur Perusahaan, melainkan kontraktor yang mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Berikut petikan penuturannya : Bagaimana Anda bisa menyatakan tudingan bahwa Gouw Pek Kiang alias Kuku bukan sebagai Direktur PT ALP, melainkan kontraktor? Dasarnya karena dia adalah pekerja yang melakukan pekerjaan LANKLIRING (Pembukaan Lahan) atas tanah itu. Akan tetapi sebatas kontraktor dari PT ALP untuk membuka lahan tersebut. Berarti memang benar dia pelaku sejarah atas tanah itu, dong? Nah, ini yang harus diluruskan. Dia mengaku sebagai pelaku sejarah pembukaan lahan PT ALP, sama saja membuka aibnya sendiri. Maksud Anda? Sebab sebagai pelaku sejarah kok tidak mengetahui asal-usul terjadinya HGU PT ALP? Jelas ini menunjukkan bahwa saudara Kuku memutar balikkan fakta untuk keuntungan pribadinya. Dia mengatakan bahwa masyarakat tidak bisa bicara soal tanah itu. Karena dia pelaku sejarahnya. Makanya saya sebagai kuasa hukum masyarakat Adat menjelaskan kronologis yang berhubungan dengan terbitnya HGU No.19/1994 itu. Seperti apa kronologisnya? PT ALP itu awalnya mengajukan permohonan izin pembukaan lahan kepada Bupati Lampung Utara dengan Surat Permohonan No.3/ALP/DIN/XII/90 tertanggal 21 Desember 1990. Pada waktu itu Bapak Djupri AH Adam selaku Bupatinya. Nah, pada tanggal 26 Desember 1990 keluarlah izin prinsip dari Bupati No.590/3527/I-LU/1990. Selanjutnya Chandra Wijaya selaku Direktur PT ALP mengajukan izin lokasi kepada Gubernur Lampung melalui Bapak Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung No.5/ALP/DIN/V/91 tertanggal 14 Mei 1991 dengan lampiran Surat Pernyataan masyarakat Adat sebagai pendukung. Nah, pada tanggal 10 November 1994 terbitlah HGU PT ALP yang dikeluarkan oleh Kantor BPN Lampung Utara No.19/1994 itu. Berarti tidak ada masalah, dong? Nanti dulu. Setelah terbit sertifikat HGU PT ALP itu, saudara Chandra Wijaya tidak melanjutkan program kerjanya, yaitu perkebunan singkong dengan Pola PIR. Akan tetapi mengoperalihkan (menjual) kepemilikan PT ALP kepada saudara Willyanto T alias Ping Ping, dengan aset yang ada. Yaitu sertifikat HGU No.19/1994. Selanjutnya, setelah PT ALP beralih kepemilikannya dari Chandra Wijaya alias Awi kepada Willyanto, masyarakat Adat keturunan Labuhan Batin, baik yang berada di Labuhan Batin, Sungai Sodong dan Kagungan Dalam menuntut ganti rugi kepada PT ALP tapi tidak ditanggapi. Sehingga pada Tahun 1998 seluruh Masyarakat Keturunan Adat Labuhan Batin memohon agar PT ALP tidak mengolah tanah Adat sebelum ada penyelesaian dengan masyarakat Adat Labuhan Batin. Dan pada Tahun 1998 PT ALP meninggalkan lokasi, sehingga lahan tersebut menjadi terbengkalai. Makanya masyarakat Adat memanfaatkan kembali lahan itu sejak Tahun 2002 untuk berkebun, diantaranya ada tanaman Kelapa Sawit, Karet dan Tanaman Singkong. Berarti tanah tersebut tetap berstatus HGU milik PT ALP, ya? Nah, dengan berjalannya waktu dimana tanaman Petani mulai tumbuh dengan baik dan ada yang sudah berusia 4 hingga 6 tahun, PT ALP mengklaim kembali tanah itu dan Willyanto alias Ping Ping atas nama Direksi Perusahaan memberi kuasa kepada Gouw Pek Kiang alias Kuku dan Ir Purnomo untuk mengurus persoalan atas tanah tersebut. Sehingga pada Bulan Maret 2008 PT ALP kembali masuk, untuk menguasai lahan dengan cara merusak tanaman para petani yang ada diatas lahan tersebut, dengan alasan mereka memiliki HGU. Itu dilakukan oleh saudara Kuku yang melakukan cara-cara intimidasi dan premanisme. Jadi ketidakpuasan masyarakat atas intimidasi saja, begitu? Bukan hanya itu. Sikap arogan Kuku yang kebal akan hukum dan berpegangan pada sertifikat HGU No.19/1994 milik PT ALP yang membuat masyarakat marah. Sementara kedudukan Kuku didalam persoalan ini hanya selaku kuasa dari Willyanto alias Ping Ping selaku pemilik atau pemegang saham PT ALP, setelah pelepasan dari pemilik pertama Chandra Wijaya alias Awi. Apalagi perbuatan Kuku dengan melakukan pengrusakan terhadap tanaman masyarakat petani, ternyata hanya untuk membuktikan kepada saudara Suryadi alias Xien Zu seolah-olah bahwa diatas tanah tersebut tidak ada masalah. Kok bisa begitu? Sebab Willyanto alias Ping Ping menjual kembali badan hukum atau saham PT ALP kepada Suryadi alias Xien Zu dengan aset PT ALP yang ada, yaitu HGU No.19/1994. Dan pemegang badan hukum atau saham PT ALP saat ini adalah Suryadi alias Xien Zu beserta keluarga. Jadi kedudukan Kuku hanya sebagai Direktur Lapangan saja dalam hal ini. Kalau begitu, tidak ada masalah dong? Bukan tidak ada masalah. Tetapi jelas dalam hal ini Gouw Pek Kiang alias Kuku menjadikan HGU PT ALP sebagai objek untuk keuntungan pribadinya. Sementara sertifikat HGU tersebut bermasalah dan dia enggak ngerti asal muasal HGU itu. Dalam hal ini, dia termasuk telah melakukan kebohongan publik dengan memutarbalikkan fakta yang ada.***

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda