15 September 2008

Pariwara

BLT Bantu Kesulitan Hidup BLT (bantuan langsung tunai) yang diprogramkan pemerintah pusat tidak saja meringankan beban warga masyarakat miskin di Lampung, melainkan juga sangat membantu dari keterpurukan ekonomi yang diderita rakyat. Meskipun program ini belum merata di semua wilayah, namun bagi sejumlah penerimanya, BLT sebagai sesuatu anugerah yang tiada tara dan membantu mengatasi kesulitan dari keterpurukan kehidupan sehari-hari. Beberapa warga penerima BLT yang ditemui di sejumlah kampung di Bandar Lampung beberapa waktu lalu mengaku senang dan bahagia dengan program yang digulirkan pemerintah itu. Seperti dikemukakan Supat (38). Warga RT 08 LK III Kelurahan Labuhan Ratu, Kecamatan Kedaton, ini mengemukakan BLT sangat membantu keluarganya dan meringankan beban hidup sehari-hari yang makin berat, akibat naiknya harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari seperti sembako. Supat yang mengaku bekerja sebagai buruh harian lepas ini, mendiami rumah geribik kecil sederhana tanpa listrik diatas tanah warisan orang tuanya. Dia sangat berterima kasih pada pemerintah pusat yang memperhatikan kehidupan warga yang tergencet kesulitan ekonomi akibat kenaikan BBM. Hal senada diungkapkan Sampan (43), tetangga Supat di kampung yang sama. Warga yang menempati rumah geribik sederhana dan numpang diatas lahan milik orang lain ini, mengaku senang saat menerima BLT. Dijelaskan, saat menerima BLT di Kantor Pos, uang sebanyak Rp 300.000 itu bisa meringankan beban kebutuhan hidup keluarganya, terutama untuk membantu biaya anak-anak sekolah, membeli buku pelajaran dan perlengkapan sekolah. Warga miskin yang hidup dari buruh upahan ini menjelaskan, BLT dari pemerintah sangat membantu warga miskin seperti dirinya, dan menolong warga dari himpitan ekonomi akibat kenaikan harga BBM. Sementara beberapa warga miskin penerima BLT lainnya, Sutrimo (47), warga Desa Cabang, Kecamatan Bandar Surabaya, Lampung Tengah, Supangat (55), warga Desa Mataram Marga, Kecamatan Sukadana, Lampung Timur, dan Supriono (40), warga Desa Fajaresuk, Kecamatan Pringsewu, Tanggamus, secara terpisah mengaku gembira dan menegaskan dana BLT yang diterimanya sangat membantu meringankan beban hidup, akibat kenaikan harga BBM. Sutrimo buruh tani penggarap sawah milik orang lain ini mengakui, BLT yang ia terima dapat meringankan beban ekonomi keluarganya. Sebab, “Selama ini penghasilan kami pas-pasan, kalau tidak ada panen atau tanam padi, kami nganggur, paling-paling cari ikan di sungai, hasilnya dijual. Dengan adanya BLT dapat membantu membiayai dua orang anak yang sekolah di SD dan SMP,” katanya. Hal senada diungkapkan Supangat. Dana BLT yang diterimanya digunakan untuk membantu modal istrinya berdagang sayur di pasar desa setempat. “Selama ini kami kesulitan menambah modal dagang, dengan adanya BLT maka dagangan yang dijual bertambah jenisnya,” kata dia. Pengakuan polos juga diungkapkan oleh Supriono yang menggunakan dana BLT untuk memperbaiki rumah geribiknya yang sering bocor akibat hujan. Dia bisa membeli genting dan semen untuk melantai rumahnya. Buruh tani miskin ini juga mengaku BLT sangat bermanfaat bagi rakyat miskin seperti dirinya. Karena itu program BLT hendaknya diteruskan karena sangat membantu masyarakat. *** Mengupas Berbagai Hal Soal BLT Apakah program bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran itu? Program bantuan langsung tunai kepada rumah tangga sasaran disingkat BLT adalah sejumlah uang tunai yang diberikan pemerintah kepada rumah tangga sasaran yang tergolong rumah tanga sangat miskin, miskin dan dekat miskin (near poor) agar kesejahteraannya tidak menurun jika harga BBM dinaikan Berapa besarnya BLT? Besarnya BLT adalah Rp 100.000 perbulan per-rumah tangga sasaran. Pembayaran dilakukan setiap tiga bulan sekali dan dimulai pada bulan Juni 2008 Mengapa jumlahnya Rp 100.000 perbulan? Pemberian BLT dimaksudkan untuk menjaga tingkat konsumsi mereka yang paling rentan agar tidak menurun pada saat pemerintah menaikkan harga BBM dengan asumsi garis kemiskinan Rp 180.000 maka pengeluaran RTS dengan dua anak adalah Rp 720.000 perbulan. Konsumsi minyak tanah RTS diasumsikan 10 liter perbulan. Dengan kenaikan harga minyak tanah Rp 500 perliter, maka dibutuhkan Rp 500 x 10 = Rp 5.000. Untuk menjaga agar RTS dapat dapat tetap membeli 10 liter minyak tanah, bila harga BBM dinaikkan, inflasi umum diperkirakan mencapai 11.1% untuk menjaga tingkat konsumsi RTS diperlukan tambahan 11.1% x Rp 720.000 = Rp 79.920. Sehingga jumlah yang diperlukan untuk menjaga tingkat konsumsi RTS adalah Rp 5.000 + Rp 79.920 = Rp 84.920, dengan demikian BLT sebesar Rp 100.000 cukup untuk mempertahankan tingkat konsumsi RTS setelah terjadi kenaikan BBM. BLT tidak dimaksudkan untuk menutup seluruh pengeluaran konsumsi RTS Mengapa uang tunai yang diberikan? Karena uang tunai dapat secara langsung mencegah turunnya daya beli masyarakat miskin yang diakibatkan oleh naiknya harga BBM. Apakah kriteria utama dalam menetapkan rumah tangga sasaran? BPS mengunakan sejumlah criteria, diantaranya luas lantai bangunan tempat tingal, jenis lantai dan dinding bangunan tempat tinggal, fasilitas sanitasi, sumber penerangan, sumber air minum, sumber penerangan utama, kepemilikan tabungan atau barang berharga, kemampuan membeli makanan dan pakaian baru, kemampuan berobat ke puskesmas, serta sumber utama penghasilan. Mengapa data rumah tangga sasaran masih mengunakan data tahun 2005 yang tidak mencerminkan kondisi saat ini? Data dasar yang digunakan adalah data untuk pelaksanaan BLT tahun 2005-2006. Selama program BLT tersebut berjalan, juga tetap dilakukan pemuktahiran data, jadi sebenarnya data dasar yang digunakan mencerminkan keadaan tahun 2006. Setelah itu BPS melakukan pemuktahiran data di 1000 kecamatan berkaitan dengan program keluarga harapan (PKH), disamping itu PT Pos melakukan penyesuaian sehubungan dengan adanya rumah tangga sasaran yang berpindah alamat, meninggal dunia, atau tidak melakukan pengambilan uang tunai pada program BLT 2005-2006. Selanjutnya pemuktahiran data melalui sensus rumah tangga sasaran akan segera dilakukan oleh BPS. Dengan demikian pemerintah akan terus berupaya agar data yang digunakan mencerminkan kondisi terakhir. Mengapa sejumlah orang miskin hasil perhitungan Susenas berbeda dengan jumlah orang miskin dalam program BLT? Angka yang setiap tahun disampaikan oleh BPS berdasarkan Susenas adalah angka jumlah orang/jiwa yang hidup dibawah garis kemiskinan. Mereka ini adalah yang tergolong sangat miskin dan miskin. Sementara penerima BLT adalah rumah tangga (bukan jumlah jiwa) yang tergolong sangat miskin, miskin dan hampir miskin (near poor), dengan demikian jumlahnya lebih banyak karena mencakup pula mereka yang tergolong sangat miskin dan miskin jumlah jiwa tidak berbeda. Apakah BLT bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan? Tidak. BLT adalah salah satu program saja dari berbagai program pemerintah berkaitan dengan pengentasan kemiskinan. BLT adalah program jangka pendek yang merupakan bantuan sosial untuk menjaga agar tingkat konsumsi masyarakat yang paling miskin tidak menurun pada saat pemerintah menaikkan harga BBM. Sedangkan untuk pengentasan kemiskinan dilakukan melalui berbagai program yang dikelompokkan ke dalam tiga kluster. Bagaimana cara mengambil BLT? Petugas Kantor Pos akan membagikan kartu rumah tangga sasaran ke alamat masing-masing. Kartu tersebut akan dilengkapi dengan barcode yang akan memudahkan pengambilan uang tunai. Setelah mendapatkan kartu tersebut, ibu/kepala keluarga dapat datang ke Kantor Pos terdekat atau tempat lain yang ditentukan/disepakati, dengan membawa kartu rumah tangga sasaran dan kartu identitas. Dimana anggota keluarga miskin dapat mengambil BLT? Untuk daerah yang terjangkau layanan Kantor Pos, penerima BLT datang ke Kantor Pos terdekat, untuk menghindari antrian, akan dilakukan penjadualan waktu pengambilan BLT. Bagi mereka yang tidak terjangkau layanan Kantor Pos, petugas Kantor Pos akan mendatangi lokasi terdekat yang ditetapkan bersama. Apakah penyaluran subsidi langsung akan diperiksa atau diawasi? Ya. BLT akan diperiksa oleh kantor pemeriksa, seperti BPKP atau BPK. Pemerintah juga meminta pemerintah daerah dan lembaga masyarakat sipil, seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pesantren, gereja dan sebagainya untuk melakukan pengawasan langsung pada saat penyaluran BLT dilaksanakan. Apakah telah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program BLT tahun 2005-2006? Sudah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program BLT 2005-2006 menggunakan Susenas 2006, berbeda dengan anggapan berbagai kalangan, hasil evaluasi menunjukkan program yang sukses hasil evaluasi antara lain; (a). 94.17% dari rumah tangga sasaran menerima uang tunai secara utuh pada pembayaran pertama 89.62% menerima pembayaran utuh mengatakan bahwa pemotongan terjadi setelah uang diterima dari PT Pos Indonesia. Dengan demikian tidak terdapat pemotongan oleh birokrasi. Uang diterima PT Pos utuh Rp 300.000, pemotongan terbanyak dilakukan oleh kepala dusun/RT/RW dengan alasan untuk membagikan kembali kepada rumah tangga yang tidak menerima BLT. (b) 80% dari jumlah sasaran tinggal kurang dari 1 jam perjalanan ke Kantor Pos, hanya 1% yang tinggal dengan perjalanan lebih dari 5 jam ke Kantor Pos. (c) Bagi penerima BLT diatas 60 tahun, 49.66% mengatakan mereka mengantri kurang dari 1 jam, 33.92% mengantri antara 1-2 jam, 13.71% mengantri antara 3-5 jam, dan 2.71 mengantri lebih dari 5 jam. (d) Mayoritas menggunakan BLT untuk membeli beras, minyak tanah dan membayar hutang, sisanya digunakan membayar pelayanan kesehatan, pendidikan, modal usaha dan lain sebagainya dengan demikian mayoritas penerima BLT menggunakan uangnya untuk membeli barang kebutuhan pokok dan tidak untuk keperluan konsumtif. (e) Hasil evaluasi mengatakan bahwa penerima BLT tidak mengurangi jam kerja, dengan kata lain pemberian BLT tidak terbukti membuat mereka malas bekerja, pemberian BLT sebesar Rp 100.000 hanya sekitar 15% dari konsumsi rumah tangga sasaran. Jumlah Rp 100.000 ditujukan hanya untuk menjaga tingkat konsumsi mereka agar tidak menurun karena pemerintah menaikkan harga BBM dan bukan untuk menutup seluruh kebutuhan mereka. Dengan demikian tidaklah tepat kalau BLT dikatakan semata-mata memberikan “ikan” dan membuat penerima menjadi malas bekerja. *** Jelang Lebaran BLT Diharapkan Cair Lagi SEJAK setahun terakhir, harga minyak dunia naik dua kali lipat dari $60 dollar perbarel menjadi $ 120 perbarel pada Mei 2008. Sedangkan harga BBM dalam negeri tidak berubah sejak Oktober 2005, yaitu harga bensin premium adalah Rp 4.500 perliter, solar Rp 4.300 perliter, dan minyak tanah Rp 2.000 perliter. Padahal harga sebenarnya (harga keekonomian/internasional) dari bensin premium sebesar Rp 8.600 perliter, harga solar Rp 8.300 perliter, dan minyak tanah Rp 9.000 perliter. Artinya, subsidi yang ditanggung pemerintah –yaitu perbedaan antara harga sebenarnya untuk perliter bensin premium (Rp 8.600–Rp 4.500) atau Rp 4.100 perliter. Subsidi solar adalah (Rp 8.300–Rp 4.300) atau Rp 4.000 perliter, dan subsidi minyak tanah adalah (Rp 9.000–Rp 2.000) atau Rp 7.000 perliter. Jika harga BBM dalam negeri tidak dinaikkan, maka terjadi perbedaan harga yang sangat besar antara harga BBM di dalam negeri dengan luar negeri, jauh lebih mahal dibandingkan harga BBM di dalam negeri, maka BBM di dalam negeri yang murah tersebut menarik untuk diselundupkan dan dijual ke luar negeri. Akibatnya, pembelian BBM bersubsidi di dalam negeri meningkat, tetapi bukan hanya digunakan untuk konsumsi domestik, melainkan juga diselundupkan ke luar Indonesia untuk dijual lagi pada tingkat harga yang jauh lebih tinggi. Artinya, subsidi BBM tidak dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia. Pengurangan subsidi BBM harus dilihat pula sebagai kebijakan Re-distribusi. Subsidi BBM juga lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah kaya. BBM dikonsumsi oleh mereka yang memiliki mobil dan motor. Semakin kaya seseorang/rumah tangga maka semakin memiliki mobil atau motor, yang artinya semakin banyak menggunakan BBM. Dengan demikian rumah tangga kaya menikmati anggaran subsidi BBM dari pemerintah jauh lebih banyak dibandingkan dengan keluarga miskin. Hasil survei Susenas–BPS, menunjukkan 70% subsidi BBM dinikmati oleh keluarga menengah ke atas di Indonesia (40% rumahtangga terkaya). Kalau rata-rata pemakaian bensin permobil pribadi adalah 10 liter perhari, artinya pemilik mobil mendapat subsidi negara sebesar Rp 41.000 perhari untuk pemakaian premium, atau Rp 40.000 untuk pemakaian solar. Dalam sebulan mereka mendapatkan minimal sekitar Rp 1.000.000 sampai Rp 1.200.000 (bila diasumsikan hari kerja adalah 25 hari sebulan), dalam bentuk subsidi BBM. Apabila keluarga menengah ke atas memiliki lebih dari satu mobil dan dengan jumlah CC yang besar sehingga boros bensin, merekalah yang menikmati subsidi BBM lebih banyak lagi. Rakyat miskin tidak memiliki mobil bahkan motor, oleh karena itu mereka tidak menikmati subsidi BBM secara langsung seperti pemilik kendaraan bermotor diatas. Mereka menikmati BBM secara tidak langsung, yaitu dengan naik kendaraan/transportasi umum yang membeli BBM yang disediakan oleh pemerintah melalui anggaran (APBN) diperkirakan akan mencapai Rp 190 triliun -dengan harga minyak dunia rata-rata mencapai US 110 dolar perbarel– dimana sekitar Rp 133 triliun (70%) dinikmati kelompok berpendapatan menengah dan kaya yang biasanya tinggal di perkotaan. Orang miskin, baik yang tinggal di kota maupun pedesaan, menikmati sangat kecil subsidi BBM tersebut. Berdasarkan data Ditlantas Polri dan hasil survei BPh, Migas, porsi konsumsi BBM/kapita/hari untuk transportasi umum sudah termasuk bis, hanya 0,9% dari konsumsi total. Jika ada kenaikan harga beban kenaikan harga transportasi untuk 1/3 keluarga berpendapatan di Indonesia ini akan sepenuhnya terkompensasi oleh BLT. Pemakaian BBM dalam negeri yang sangat banyak, baik untuk dipakai sendiri maupun yang bocor karena penyelundupan, ditambah dengan harga minyak dunia yang melonjak dua kali lipat dalam setahun terakhir, mengakibatkan beban subsidi BBM meningkat drastis. Subsidi BBM dalam anggaran pemerintah 2008 melonjak dari Rp 126 triliun menjadi Rp 190 triliun. Sementara itu subsidi listrik diperkirakan akan mencapai Rp 75 triliun –yang juga lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah atas yang memakai listrik di rumah lebih banyak, seperti untuk AC, Tv, komputer, lampu, dll. Total subsidi energi dalam anggaran pemerintah tahun 2008 mencapai Rp 265 triliun, dimana Rp 186 triliun dinikmati oleh kelompok menengah atas. *Kelompok Potensial Sebagian besar penerima BLT (77,7%) adalah rumah tangga miskin, bahkan sekitar 50,3% Rumah Tangga Miskin (RTM) tergolong sangat miskin, dan hanya sekitar 22,3% saja yang tergolong mendekati miskin. Hal ini menunjukkan tingkat ketepatan sasaran program BLT yang cukup tinggi. Selain itu, sekitar 75% penerima BLT berada dalam usia produktif (15-55 tahun) dan 90,4% dalam keadaan sehat fisik. Oleh sebab itu, penerima BLT merupakan kelompok potensial untuk menerima pendekatan pemberdayaan untuk meningkatkan produktifitasnya. Dan sekitar 73,7% penerima BLT memiliki latar belakang pendidikan hanya lulus SD ke bawah. Selain itu 38,3% tidak memiliki pekerjan tetap atau serabutan dan sekitar 6,6% adalah pengangguran. Masuknya program BLT dari pemerintah, yang jelas sebagian masyarakat miskin telah terbantu. Pasalnya mereka yang hidupnya berkecukupanpun masih ingin mendapatkan BLT ini. Tingggal lagi pemerintah memperbaiki sistem pendataannya. Diupayakan untuk tahun 2009 data yang digunakan harus lebih akurat dari yang sekarang, sehingga sasaran bantuan terhadap masyarakat miskin tercapai. Program BLT yang akan datang yaitu September sampai Desember (4 bulan) dengan jumlah dana Rp 400.000, diharapkan bisa dibagikan pada bulan September, jangan sampai molor ke bulan Oktaober. Pasalnya bulan Oktober adalah Hari Raya Idhul Fitri. Dengan dibagikannya BLT ini pada bulan September bisa digunakan untuk membantu persiapan hari raya, dengan demikian manfaat bantuan ini sangat terasa bagi mereka yang sangat membutuhkannya. ***

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda