01 September 2008

Tidak Perlu Ribut-Ribut

Sekretaris NU Menilai Hanya Akal-Akalan TOKOH politik Lampung Utara, Hi Aslam Salim, menilai, adanya kebijakan beberapa parpol terkait dengan caleg terpilih adalah yang mendapat suara terbanyak, bukan sesuatu yang meyakinkan dapat dijalankan. Karena yang pasti, adalah nomor urut. Tapi, “Menurut saya, nggak perlu-lah masalah itu sampai membuat ribut-ribut. Kalau memang percaya diri, dan memiliki jaringan kuat di masyarakat, nomor berapapun bisa jadi, tentunya sesuai ketentuan perundang-undangan yaitu 30% dari BPP,” ucap tokoh senior PAN Lampung Utara itu. Aslam Salim yang beken disapa Haji Kemis ini menambahkan, adanya kebijakan beberapa parpol bila caleg terpilih adalah yang mendapatkan suara terbanyak, tak lebih dari strategi partai bersangkutan untuk mendapat kursi secara maksimal di parlemen. Dan, “Mungkin hanya beberapa parpol saja yang sampai akhir tetap bisa konsisten dalam kebijakan itu. Selebihnya ya tetap mengacu pada UU, dan KPU tentunya berpegang pada ketentuan perundang-undangan,” sambungnya. Ditambahkan, adanya kebijakan beberapa parpol itu hendaknya disikapi dengan dewasa oleh kader-kader partai bersangkutan. “Tidak perlu-lah rebut-ribut itu. Kalau tidak yakin, ya nggak usah mencalonkan diri sebagai caleg,” pungkas dia. *Akal-Akalan Sementara Sekretaris PW NU Provinsi Lampung, Drs Munzir Ahmad Syukri, menilai kebijakan beberapa parpol menghadapi pemilu legislatif 2009 itu hanya sekadar akal-akalan atau retorika saja. “Kalau memang parpol-parpol itu serius dengan kebijakannya caleg terpilih adalah yang mendapat suara terbanyak, kenapa hal itu tidak dimasukkan dalam UU Pemilu saja. Kan begitu logikanya. Jadi itu semua hanya akal-akalan atau retorika pimpinan partai saja,” beber mantan ketua PMII Cabang Lampung itu. Tak hanya itu. Munzir juga menilai, kebijakan tersebut sesungguhnya secara langsung atau tidak telah melakukan penistaan terhadap kader-kader partai yang selama ini cukup keringatan untuk membesarkan partainya. “Kebijakan itu diambil hanya karena pimpinan partai ingin menghindari konflik saat penyusunan daftar caleg. Mereka tidak sadar kalau hal ini justru akan memicu munculnya konflik baru pada saat penetapan caleg yang duduk di legislatif nantinya,” imbuh dia sambil menilai, adanya kebijakan caleg terpilih yang bersuara banyak tersebut tak lain hanyalah upaya ngakali hukum sekaligus ngakali rakyat. Meski mengakui kebijakan itu bakal melahirkan konflik berkepanjangan, namun Munzir meyakini, saat ini kader partai dan pemilih telah cukup cerdas. Maksudnya? “Sekarang ini rakyat sudah pinter, nggak lagi memikirkan memilih partai tapi orangnya. Yaitu figur wakil rakyat yang bermoral dan amanah,” Munzir menambahkan. dd Jauhari Zaelani: Parpol Yang Diuntungkan FOKUS – Pengamat politik dari UBL, Drs Hi Jauhari Zaelani, menilai, adanya kebijakan beberapa parpol yang mengiming-iming caleg terpilih adalah yang mendapat suara terbanyak, sebenarnya sesuatu yang lazim-lazim saja dimainkan di saat masa penentuan caleg. Karena, “Masa penentuan caleg adalah saat yang rentan dengan munculnya konflik internal partai. Dengan digelindingkannya isu suara terbanyak yang terpilih, maka ribut-ribut antara kader dan elite parpol dapat dieliminir,” tutur dia. Pria low profile ini menambahkan, justru dengan digelindingkannya isu tersebut, parpol yang diuntungkan, karena antar caleg akan terjadi kompetisi yang kuat. “Jika masing-masing caleg giat sosialisasi dan mengumpulkan suara, tentu saja partai yang akan panen,” katanya lanjut. *Elite Munafik Tapi, terang-terangan Jauhari Zaelani menilai, dalam konteks permainan politik yang kini tengah ngetrend itu, elite parpol bersikap mendua alias munafik. Maksudnya? “Di satu sisi mereka melempar itu itu (caleg suara terbanyak yang terpilih atau jadi, red), di sisi lain elite partai nongkrong di nomor peci (jadi). Kalau mau fair, parpol yang menerapkan kebijakan itu mestinya menempatkan elitenya di nomor sepatu (buncit),” kata dia. Kenapa mesti begitu? “Bukankah elite parpol adalah tokoh yang sudah mengakar? Sistem itu semestinya untuk menguji ketokohan elitenya. Apalagi mereka adalah pejuang demokrasi,” jelas Jauhari sambil menambahkan, bukankah para elite mendirikan parpol untuk berjuang? Terlebih, lanjut dia, bagi elite dari parpol-parpol lama. Mereka telah membina konstituennya dengan biaya negara, baik APBN maupun APBD. Dengan diterapkannya kebijakan beberapa parpol tersebut, Jauhari Zaelani memprediksi, konflik pasca pemilu legislatif tahun depan dimungkinkan terjadi, dan selalu saja ada yang menjadi korban. Dalam kondisi semacam itu, “Yang lihai dan kuat akan keluar sebagai pemenang. Tapi akhirnya parpol akan ditinggalkan kader-kadernya. Mereka itu bukan hanya membelot, namun bisa juga mendirikan partai baru. Ini semua adalah dinamika demokrasi zaman reformasi sekarang ini,” Jauhari menambahkan. dd

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda