09 November 2008

Transportasi KA Sumatera Mendesak

Oleh : Ilham Djamhari PULAU Sumatera yang luasnya tiga setengah kali Pulau Jawa merupakan jajaran pulau besar di kepulauan Nusantara yang memiliki nama lain Swarna Dwipa atau Pulau Harapan. Karena itu, pembangunan ekonomi dan pusat-pusat pertumbuhan kawasan perdagangan sudah waktunya bergeser ke wilayah ini, bukan berpusat di Pulau Jawa, dengan segala permasalahannya. Berdasarkan kajian ekonomi regional, Pulau Jawa sudah padat, pertumbuhan ekonomi stagnan, lahan makin menyempit sehingga untuk pembangunan sarana dan prasarana memerlukan biaya sangat besar. Pulau Jawa sebagai pulau masa lalu, dan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua merupakan pulau masa depan, karena itu pembangunan infrastrukturnya harus digencarkan, jangan melulu menumpuk di Jawa saja. Dalam hal ini pihak Departemen Perhubungan RI harus mulai memikirkan mode transportasi massal, murah dan aman, mampu mengangkut volume besar dan kapasitas yang besar pula, salah satunya adalah sarana dan prasarana kereta api atau KA. Pulau Sumatera yang kini mulai meningkat pembangunan dan pertumbuhan ekonominya, sudah waktunya dipikirkan dan dikonsep yakni Trans Sumatera Railway yang membentang dari Aceh hingga Lampung berikut lintas cabangnya sebagai koridor penghubung antar provinsi dan antar wilayah produsen, pemasok komoditas ke wilayah konsumen maupun pelabuhan ekspor. Selama ini, pembangunan sarana KA di Indonesia tidak pernah bertambah, bahkan panjang jalur KA yang ada semakin berkurang dan banyak yang mati atau tidak aktif karena sesuatu hal. Dalam konteks ini, kita harus melihat China. Pembangunan sarana KA dalam dua dekade sudah mencapai 55 ribu kilometer. Bahkan, India sudah menambah jalur KA hingga 20 ribu Km dan Australia sebagai negeri benua juga jalur KA semakin bertambah panjang ribuan kilometer seiring dengan makin meningkatnya pembangunan wilayah mereka. Sedang jalur KA di Indonesia bukan bertambah, justru makin berkurang. Pihak Dephub selama ini hanya berwacana atau hanya berkonsep soal proyek KA di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Namun realisiasinya hingga sekarang masih terseok-seok, dengan alasan keterbatasan anggaran. Kalau hanya berwacana saja, tidak diimbangi political will maka hanya sebatas itulah kemampuan pemerintah kita untuk membangun sarana transportasi massal bagi rakyat di wilayah ini. Hanya janji-janji saja, alias menjual mimpi pada rakyat, namun realitanya belum ada. Sudah berapa kali Menhub berganti pejabat, sejak jaman Orde Lama, Orde Baru hingga orde reformasi sekarang ini, belum pernah menhubnya meresmikan pembangunan jalur baru (railway track) rel KA yang selesai dibangun dengan panjang ratusan kilometer. Yang terjadi hanya meresmikan sarana prasarana yang sudah ada saja. Termasuk UU Perkereta-apian juga sudah dibuat dan diperbarui yang memungkinkan pihak swasta bisa berpartisipasi dan membangun jalur KA. Bahkan hasil pertemuan dan rapat Gubernur se-Sumatera di Batam maupun di Lampung tahun 2006, juga sudah sepakat mengusulkan ke Dephub agar Pemerintah Pusat dalam hal ini Dephub segera merealisasikan pembangunan jalur KA Trans Sumatera Railway dari Aceh hingga Lampung sepanjang 2500 Km. *Menguntungkan Memang diakui oleh Menhub Jusman Syafii Jamal bahwa untuk membangun sarana KA di Sumatera butuh biaya besar, kurang lebih mencapai Rp 8 triliun. Karena keterbatasan anggaran, sebaiknya pembangunan diprioritaskan pada wilayah-wilayah mana yang membutuhkan lebih dulu, katanya. Seperti di Sumut untuk angkutan CPO (Crude Palm Oil) atau minyak sawit maupun komoditas perkebunan, di Sumbar dan Sumbagsel untuk angkutan batubara, semen, komoditas perkebunan, agro industri atau BBM. Karena itu pihak DPR-RI dalam hal ini Komisi V dan Departemen Perhubungan atau Dirjen Perkereta Apian sudah sewaktunya mengkaji dan mengalokasikan anggaran untuk pembangunan jalur KA di Sumatera yang secara ekonomis memiliki prospek sangat besar dan menguntungkan. Dirut PT KAI Ronny Wahyudi mengakui, keuntungan pihaknya mengangkut batubara dari tambang PT BA (Bukit Asam) di Tanjung Enim Sumsel ke Tarahan Lampung sejauh 600 Km dan Kertapati Palembang selama setahun, mencapai Rp 1,3 triliun. Itu belum dari hasil pemasukan keuntungan angkutan semen, kertas pulp, angkutan barang umum (general cargo) dan penumpang. Jadi wajar saja pihak PTKA sekarang berkipas-kipas menikmati keuntungan bersih dari hasil angkutan massal barang tambang batubara, meskipun belum diimbangi dengan peningkatan kualitas dan kapasitas sarana dan pelayanan angkutan KA seperti rel masih banyak yang aus, jalur lalu lintas maupun persinyalan KA masih menggunakan sistem mekanik (manual), belum elektrik total seperti di luar negeri atau sebagian Pulau Jawa. Banyaknya perlintasan liar atau tanpa palang pintu di lintasan sebidang jalan raya dan masih seringnya kecelakaan seperti KA terguling, anjlok maupun tabrakan sesama KA di wilayah Divre (Divisi Regional) Sumatera Bagian Selatan akibat human error atau kecerobohan manusia yang mengelola sarana KA tersebut. Kalau dilihat secara geografis, seluruh jalur KA di Sumatera merupakan warisan penjajahan Belanda yang jalurnya hanya sepotong-sepotong, yakni di Sumatera Utara, di Aceh jalurnya sudah mati, namun katanya akan dibangun kembali, di Sumatera Barat, lalu di Sumatera bagian Selatan membentang dari Lubuk Linggau –Kertapati (Palembang) dan Tanjungkarang (Lampung).
Sudah Terkonsep
Pihak Dephub dalam cetak birunya (blue print) sudah mengkonsep rencana pembangunan jalur KA Trans Sumatera Railway yang membentang dari Banda Aceh – Medan – Dumai Pekanbaru- Muaro – Muara Bungo – Jambi – Palembang – Tanjungkarang dan Bakauheni, selanjutnya interkoneksi lewat kapal feri atau JSS (Jembatan Selat Sunda) terus ke Pulau Jawa. Selain itu, ada konsep pembangunan jalur koridor lintas cabang dari jalur utama, seperti lintas Kota Pinang – Padang Sidempuan – Sibolga (Sumut), lintas Pekanbaru – Rengat – Kuala Enok (Riau), lintas Tebingtinggi-Bengkulu – Padang, lintas Lubuklinggau – Jambi, lintas Kertapati - Indralaya – Kayu Agung – Mesuji (Sumsel), lintas Terbanggi Besar – Menggala – Unit II – Mesuji, lintas Rejosari – Metro – Sukadana – Labuhan Maringgai dan lintas Tegineneng – Pringsewu – Kota Agung (Lampung). Bahkan sebuah perusahaan swasta nasional, PT Pathaway International, berencana membangun jalur KA listrik angkutan batubara menghubungkan Tanjungenim – Bengkulu sepanjang 300 Km dan perusahaan Trans Pacific Railway Infrastructure bekerjasama dengan PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) dan China Railway Enginering Group berencana membangun jalur baru double track antara Tanjung Enim – Baturaja – Srengsem (Bandar Lampung) sepanjang 345 Km untuk angkutan khusus batubara. Kapasitas angkutan batubara mencapai 20 juta ton per tahun. Dibanding angkutan KA Babaranjang (batubara rangkaian panjang) sekarang hanya mampu mengangkut 7 juta ton batubara per tahun. Apalagi banyak wilayah di Pulau Sumatera yang memiliki potensi hasil tambang, komoditas pertanian, perkebunan, kehutanan, agro industri, belum terlayani moda transportasi sarana angkutan KA. Masih menggunakan angkutan truk bertonase besar yang tentu saja sangat merusak jalan raya dan biaya pemeliharaan jalan menjadi sangat besar karena sering rusak, dan ongkos angkut lebih mahal, selain sering terjadi kemacetan dan kecelakaan. Dengan melalui transportasi KA, maka biaya lebih murah, volume angkutan lebih banyak, lebih aman, lebih cepat dan mengurangi kepadatan lalu lintas jalan raya khususnya truk. Jadi, sudah sewajarnya pemerintah pusat stop dulu berfikir pola Jawa sentris, atau membangun sarana dan prasarana transportasi hanya di Pulau Jawa. Sudah waktunya Sumatera menggeliat sekarang dan potensi wilayah ini yang masih tidur akan bangkit dan memiliki prospek pertumbuhan ekonomi luar biasa seperti di China dan India, jika segala sarana transportasinya memadai dan pemerintahnya fokus perhatiannya pada bidang ini. *** (penulis: jurnalis tinggal di Lampung)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda