01 September 2008

Letupan Pasca Pemilu

PEKAN-pekan ini, beberapa parpol digoyang skandal politik berkaitan dengan penempatan calon anggota legislatif yang akan bertarung pada pemilu tahun depan. PAN dan Partai Demokrat yang meletup kepermukaan, sedang PKB bak api dalam sekam. Muara persoalannya adalah adanya kebijakan parpol yang mendahulukan caleg memperoleh suara terbanyak dibanding nomor urut. Selain masalah klasik; Kader beneran ditempatkan di nomor sepatu (nomor buncit) sedang yang punya ikatan kekeluargaan ditaruh di nomor peci (nomor jadi). Terkait dengan dua hal yang menggoyang beberapa parpol itu –yang imbasnya konsentrasi ke pemenangan calon yang diusung partainya pada pilgub menjadi pecah- Fokus menghubungi beberapa kalangan untuk meminta komentarnya. Salah satunya adalah politisi senior, Hi R Thibroni Hamim. Tokoh politik kelahiran 10 Oktober 1944 yang masih berstatus anggota DPRD Lampung dari Partai Demokrat itu memposisikan dirinya sebagai pengamat politik. Berikut petikan wawancara Fajrun Najah Ahmad dari Fokus dengan Hi R Thibroni Hamim, akhir pekan kemarin: Sebagai politisi, tentu Anda mengikuti kisruh-kisruh di parpol terkait pencalegan, menurut Anda apa masalahnya? Ya, semuanya bermuara pada keputusan pimpinan partai. Bisa karena ketentuan atau prosesnya tidak diikuti, atau karena banyak kader yang justru disepelekan. Itu biasa terjadi pada waktu penentuan caleg seperti sekarang ini. Jadi kalau bagi saya, ya dinamika politik saja. Banyak yang berpendapat hal itu karena adanya kebijakan caleg memperoleh suara terbanyak yang dilantik, menurut Anda? Sekarang ini memang ada fenomena baru. Beberapa parpol secara terbuka menyampaikan calegnya yang mendapat suara terbanyak yang akan dilantik. Hal ini sebenarnya bagus dalam upaya membangun image bahwa suara terbanyak itu berarti mendapat dukungan mayoritas rakyat. Hanya masalahnya menurut saya tidak sesederhana itu. Bisa Anda jelaskan? Dalam ketentuan perundang-undangan itu jelas bahwa nomor urutlah yang diutamakan. Lain kalau si caleg berhasil memperoleh suara 30% dari BPP. Tapi apa iya bisa mencapainya? Ini kan persoalan lagi. Jadi saya melihat, perkembangan politik belakangan ini terkait dengan digembar-gemborkannya suara terbanyak pasti dilantik, justru menimbulkan berbagai persoalan baru. Jadi bisa dibilang kebijakan suara terbanyak yang jadi itu hanya retorika politik yang dimainkan parpol, begitu? Ya, bisa saja dinilai demikian. Tapi kalau saya ngomong begitu kan nggak enak. Kalau begitu para caleg sekarang ini terjebak dengan retorika politik yang dimainkan partai dong? Bisa saja kalau ada yang menilainya demikian. Tapi menurut saya, hal ini –kebijakan caleg suara terbanyak yang jadi anggota legislatif- tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Bisa Anda jelaskan? Begini, aturannya kan jelas, yang akan dilantik itu sesuai nomor urut, kecuali ada caleg yang memperoleh suara 30% dari BPP. Ini undang-undang lo yang menentukan. Tentunya, KPU akan berpegang pada ketentuan tersebut. Tetap nomor urut yang dipakai KPU, begitu? Sudah pasti! Kecuali yang memperoleh suara 30% dari BPP ya. Itu artinya, ya nomor urut yang dipakai, bukan caleg yang memperoleh suara terbanyak. Bagaimana nasib caleg yang mampu meraih suara terbanyak? Itu urusan internal partai. Sesuai UU KPU tidak mengurusi soal adanya kesepakatan-kesepakatan internal partai semacam itu. Bagi KPU, kalau ada caleg yang memperoleh suara 30% dari BPP, ya itu yang dilantik, selebihnya dikembalikan ke nomor urut. Aturan yang bicara. Kalau begitu, caleg bersuara terbanyak tapi dengan nomor urut belakangan belum tentu jadi dong? Kalau memenuhi ketentuan BPP, ya bisa. Kalau dibawah itu, dikembalikan ke nomor urut. Itu aturannya. Bagaimana proses mewujudkan kebijakan parpol yang mendahulukan caleg suara terbanyak itu? Itu kan kesepakatan internal, jadi ya urusan internal. Kalau tidak ada yang memenuhi 30% dari BPP, berarti nomor urut yang diambil. Mereka-lah yang dilantik. Tapi kalau ada yang dibawahnya mendapat suara lebih, urusan partai untuk selanjutnya. Partai yang mengajukan PAW, begitu? Iya, ketentuannya demikian. Jadi dilantik dulu sesuai nomor urut, lalu partai mengajukan PAW atas dasar adanya kesepakatan internal suara terbanyak itu. Semua kan tahu, tidak mudah untuk mem-PAW anggota DPRD. Apalagi kalau yang punya suara banyak, ternyata ada di nomor urut 5 misalnya. Berarti dari nomor urut 2 sampai 4 harus membuat pernyataan pengunduran diri terlebih dulu. Kalau tidak mau membuat surat pengunduran diri? Parpol harus memecatnya, dengan demikian baru proses PAW sesuai kesepakatan caleg suara terbanyak yang jadi, bisa dilakukan. Repot juga ya kalau begitu? Ya itulah kalau kita bicara ketentuan. Karena itu saya memprediksi, letupan-letupan ketidakpuasan menyangkut pencalegan saat ini akan terus terjadi sampai pasca pemilu legislatif nanti. Dan itu semua menguras tenaga, pikiran, dan dana. Apa tidak bisa kebijakan parpol itu langsung terwujud? Nggak bisa! Undang-undangnya mesti dirubah dulu. Tapi masak iya, baru setahun berjalan, undang-undangnya mau dirubah lagi. Bisa saja Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang, tapi apa iya hal itu tepat. Semua ini kan perlu pertimbangan matang. Di satu sisi kini dinamika politik sangat konstruktif dengan lahirnya kebijakan caleg suara terbanyak akan dijadikan, di sisi lain UU-nya belum menyentuh ke sana. Ya, namanya kita kan masih berproses dalam menuju kedewasaan berpolitik, maklum-maklumin saja-lah. *** Pilih Turun Gunung DI tengah hingar-bingar pencalegan saat ini, Hi R Thibroni Hamim justru enjoy-enjoy saja. Seperti biasa, sehari-hari ia tetap aktif melaksanakan tugasnya sebagai anggota DPRD Provinsi Lampung. Tak ada kegiatan lain yang menunjukkan jika suami Siti Undaya R Paksi tersebut tengah mempersiapkan diri untuk tampil lagi sebagai caleg. Rupanya, Thibroni Hamim telah mantap untuk turun gunung alias tidak mencalonkan diri kembali. Lho kenapa? “Saya memberi kesempatan kepada yang muda-muda. Cukuplah satu periode saja saya sebagai anggota DPRD Lampung. Banyak kader-kader muda potensial yang harus diberi kesempatan mengembangkan kemampuan,” tutur salah satu pendiri Partai Demokrat Provinsi Lampung ini. Hanya karena alasan itu? “Iya, saya kira sudah saatnya regenerasi dilakukan. Yang tua-tua waktunya minggir dengan memberi kesempatan kepada yang muda yang potensial dan berkemampuan,” Thibroni menambahkan. Bukan karena proses pencalegan di Partai Demokrat disemaraki oleh nuansa kroni-isme? “Kalau itu sih dinamika saja bagi saya. Hanya memang, semestinya yang benar-benar selama ini berbuat banyak untuk partai dan masyarakat yang diberi prioritas. Tapi kan semua ada yang mengaturnya, ya apa yang sudah diputuskan kita doakan saja yang terbaik untuk partai dan masyarakat,” urai dia. dd

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda