28 Juli 2008

Kepala Sekolah Jual Buku

Wali Murid SDN Sidorejo Sekampung Udik Mengeluh MASIH saja praktik jual buku yang dimainkan kepala dan pimpinan sekolah bagi para anak didiknya. Yang teranyar muncul dari SDN Sidorejo, Sekampung Udik, Lampung Timur. Semua murid di sekolah ini wajib membeli buku cetak yang diarahkan pimpinan sekolah, dengan harga bervariasi, dari Rp 17.000 sampai Rp 41.000. Buku cetak yang wajib dibeli di sekolah itu terdiri dari matematika, PPKn, Bahsa Indonesia, Bahasa Inggris, IPA, dan IPS. Juga buku Bahasa Lampung dan SPK. Keterlibatan kepala SDN Sidorejo dalam kewajiban membeli buku cetak bagi anak muridnya ini sulit dibantah. Pasalnya, seperti dituturkan beberapa wali murid, anaknya diarahkan membeli buku cetak di toko buku milik sang kepala sekolah. Dengan alasan, di toko lain buku-buku tersebut tidak tersedia. Bahkan, kabarnya, anak murid didata siapa saja yang membeli buku di toko sang kepala sekolah. Seorang wali murid menguraikan, anaknya sampai tak mau masuk sekolah karena belum membeli buku yang diarahkan kepala sekolahnya. Terpaksalah ia menjual sepeda ontel-nya demi sang anak, meski risikonya kini ke sawah harus berjalan kaki. “Ya, mau bagaimana lagi, namanya juga demi anak,” tutur wali murid itu sambil menitikkan air mata. Gilanya lagi, harga buku cetak yang wajib dibeli anak didik di toko sang kepala sekolah relatif cukup mahal. Untuk buku matematika harganya Rp 33.000, SPK Rp 28.000, PPKn Rp 25.000, dan buku Bahasa Lampung Rp 21.000. Arahan untuk membeli buku cetak ini tak ditampik Kepala SDN Sidorejo, Nengah Catru, AMa, Pd. Alasannya, dengan mengarahkan sang anak membeli buku cetak di tokonya, justru membantu para wali murid. “Istri saya memang punya usaha toko, pengecer buku-buku terbitan Penerbit Erlangga. Dan kami bekerjasama dengan sales penerbit tersebut, yaitu Maimanto. Jadi sebenarnya kami justru membantu orang tua memenuhi kebutuhan belajar anak-anaknya,” urai Nengah Catru, saat ditemui di ruang kerjanya beberapa hari silam. Namun Nengah mengaku tidak mewajibkan anak didiknya membeli buku cetak di toko yang dikelola istrinya. “Saya tidak mewajibkan kok, baik membelinya di toko istri saya maupun mewajibkan semua murid punya bukunya. Yang saya pikirkan, buku-buku itu kan bisa dipakai adik-adik kelasnya kalau kurikulum tidak berubah, jadi ya apa salahnya kalau semua murid memilikinya,” beber Nengah Catru. hm

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda